iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Shinta W Kamdani. Dampak Indonesia tidak lagi menjadi negara berkembang akan membuat pasar ekspor Indonesia ke AS akan meredup.

“Semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy and countervailing measures AS,” kata dia.


Meski demikian, diharapkan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang AS tidak sampai mengganggu kinerja perdagangan internasional Indonesia, khususnya dengan AS.

“Kalau keberlakuan status nondeveloping country-nya bisa terbatas pada CVD Act dan enggak spill over ke GSP maka enggak masalah. Cuma saja akan aneh dan karena AS jadi enggak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi enggak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan,” jelas dia.

Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah memastikan pencabutan daftar Indonesia dari daftar negara berkembang menjadi negara maju bakal negatif untuk sektor ekspor Indonesia ke AS.

“Tanpa fasilitas GSP yang artinya tidak ada kemudahan tarif barang-barang, kita bisa jadi sulit bersaing untuk masuk ke AS sehingga bisa menekan nilai ekspor Kita. Ujungnya akan menurunkan surplus atau semakin membuat neraca dagang kita defisit,” kata Piter.

Kendati demikian, di satu sisi menurut Piter, kebijakan tersebut mengajarkan pemerintah Indonesia untuk tidak bergantung dengan fasilitas yang diberikan AS.

“Tapi kiita memang tidak bisa selamanya bergantung kepada fasilitas. Kita harus siap dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Dengan demikian kita mampu bersaing tanpa fasilitas,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah Pemerintah AS mengubah kebijakan perdagangannya dengan mengeluarkan beberapa negara dari daftar negara berkembang, termasuk Cina, India, dan Afrika Selatan.

Kebijakan tersebut telah berlaku sejak 10 Februari 2020. Artinya Indonesia dikeluarkan dari daftar developing and least-developed countries sehingga special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.

Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Akibatnya kebijakan ini membuat perdagangan Indonesia menjadi melemah.(din/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images